Ini Kronologis Hingga Ribuan Muslim Bima "Gedor" Mapolres, Tuntut Adili Oknum Banser Ansor Pembakar Kalimat Tauhid

Ribuan massa dari FUI Bima mendatangi Mapolres Bima Kota, Jum'at (26/10/2018). METROMINI/Dok
KOTA BIMA - Sebelumnya, insiden yang membuat kegaduhan di hampir beberapa daerah di Indonesia berawal saat kegiatan Peringatan Hari Santri Nasional Tahun 2018 di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, Senin (22/10/2018) lalu. 

Pasalnya, di acara itu, ada inside pembakaran bendera di Lapang Alun-alun Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat tersebut. Video yang beredar dengan durasi 02.05 menit di sosial media itu memperlihatkan ada seorang anggota berbaju Banser yang membakar bendera berwarna hitam bertuliskan kalimat tauhid (tulisan  Lailahaillallah Muhammadarrasulullah dalam bahasa arab).

Dilansir dari situs www.tempo.co, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, insiden pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh Barisan Serbaguna Nahdlatul Ulama atau Banser NU di Garut adalah spontanitas.

"Spontan itu, itu murni spontan," kata Yaqut saat ditemui di kantor Pusat Pengurus GP Ansor di Jakarta Pusat, Rabu, 24 Oktober 2018 lalu.

Dari pengakuan tiga orang yang diduga membakar bendera tersebut, kata Yaqut, aksi tersebut memang spontan saat ada orang yang mengibarkan bendera yang dianggap bendera HTI itu dalam peringatan Hari Santri.

Yaqut mengatakan tidak ada provokasi atau dorongan untuk membakar saat Banser melihat ada atribut yang dianggap milik HTI tersebut. 

"Tidak ada dorongan itu murni spontanitas," ujarnya.

Menurut Yaqut, dalam kegiatan tersebut sudah disepakati untuk tidak boleh mengibarkan bendera selain bendera merah putih. Namun di tengah kegiatan, kata dia, ada orang yang mengibarkan bendera hitam bertuliskan tauhid tersebut.

GP Ansor pun akan memberikan peringatan kepada Banser tersebut karena sudah menimbulkan kegaduhan publik. Yaqut menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat, mewakili kepengurusan GP Ansor dan Banser NU, atas terjadinya kegaduhan publik akibat pembakaran bendera tersebut.

Ini Kata Polri

Sementara itu, masih dilansir dari situs www.tempo.co, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, Brigadir Jenderal Agung Budi Maryono menjelaskan kronologis kejadian pembakaran bendera di Garut, pada Minggu, 21 Oktober 2018.

Pembakaran bendera itu, kata dia, terjadi di lapangan Limbangan, Kabupaten Garut, di sela acara peringatan Hari Santri Nasional. Saat ratusan santri berkumpul dan melakukan upacara peringatan Hari Santri Nasional, tiba-tiba ada salah satu peserta yang mengibarkan bendera bertuliskan kalimat tauhid. Tak lama kemudian, tiga orang yang mengenakan seragam Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser) mengamankan orang yang mengibarkan bendera itu.

"Secara refleks tiga orang yang menggunakan seragam Banser merebut bendera tersebut dan sudah diserahkan. Kemudian tadinya bendera itu mau diinjak-injak oleh masa yang lain dan tiga orang ini berinisiatif membakar bendera itu," kata Agung di Mapolda Jabar, Jalan Sukarno Hatta, Bandung, Selasa, 23 Oktober 2018 lalu.

Sementara itu, Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto mengatakan tiga orang itu membakar bendera secara spontan. 

"Karena spontan, tidak ada niat jahat dari Banser saat membakar," kata Arief di Ruang Rupatama, Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 26 Oktober 2018. 

Diakuinya, ketiga orang tersebut tidak diproses hukum karena tidak menemukan unsur pidana berupa niat jahat. Arief menjelaskan Polda Jawa Barat telah melakukan penyelidikan menyeluruh peristiwa pembakaran bendera itu. Dari hasil penyelidikan pada panitia, diketahui dalam acara resmi itu hanya boleh membawa bendera merah putih. 

Namun, lanjut Arief, seorang pria bernama Uus membawa bendera bertulisan laa ilaaha illallah dalam huruf Arab. Anggota Banser menanyai Uus alasan membawa bendera itu. Menurut Arief, Uus menyatakan bendera itu adalah bendera organisasi Hizbut Tahrir Indonesia yang dinyatakan terlarang. 

Sambung dia, Anggota Banser NU pun menyuruh Uus meninggalkan lokasi tanpa bendera yang kemudian dibakar Banser. Sebelum membakar, kata dia,  pelaku pembakaran sempat mencari-cari dahulu korek. Ia mengatakan pembakaran itu dilakukan Banser agar bendera tidak digunakan lagi, sesuai aturan acara. 

 "Dan sikap spontanitas Banser ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya alat pembakar atau korek." akunya. 

Dengan tidak adanya unsur mens rea atau niat jahat, sambung dia, maka unsur pidana yang menjerat tiga anggota Banser NU itu gugur. Dalam suatu tindak pidana, harus dipenuhi dua unsur yakni actus reus atau fisik perbuatan pidana dan mens rea atau niat motif melakukan pidana. 

Dijelaskannya, Actus reus dalam kasus ini adalah perbuatan pembakaran bendera. Sedangkan mens rea dianggap polisi tidak ada karena bersifat spontan dan Banser NU menganggap bendera itu sebagai bendera HTI organisasi terlarang.

Reaksi Ummat Muslim

Kendati insiden pembakaran bendera yang diklaim oleh pihak GP Ansor dan hasil pemeriksaan 
Polri adalah bendera milik Hizbul Tahrir Indonesia (HTI) yang merupakan organisasi masyarakat yang telah ditetapkan Pemerintah sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Namun, hal itu ternyata kian menyulut amarah muslim di Bima dan di beberapa daerah lainnya di Indonesia.

Usai sholat Jum'at (26/10/2018), ribuan muslim di Kota Bima yang tergabung dalam Forum Ummat Islam (FUI) Bima turun ke jalan. Ribuan muslim menggelar konvoi dan menyampaikan tuntutannya di depan Mapolres Bima Kota. 

Gerakan ini dibangun sebagai bentuk sikap ummat muslim di Bima yang merasa marah dan tidak terima dengan tindakan oknum yang berani membakar kalimat tauhid yang diketahui dilakukan oleh oknum Banser Ansor yang merupakan organisasi sayap dari Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).

Ketua FUI Bima, Asikin bin Mansur menilai, tindakan pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid merupakan pelecehan yang tidak bisa terima oleh Umat Muslim di seluruh dunia.

"Perbutan pembakaran pada kain bertuliskan kalimat tauhid merupakan tindakan biadap dan terkutuk," tegasnya saat menyampaikan orasinya di depan Mapolres Bima Kota.

Ia meminta kepada Presiden dan Kapolri untuk bisa mendengar pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pembakar bendera bertuliskan kalimat tauhid ini, Ditegaskannya, tindakan oknum Bansor itu merupakan penistaan agama dan harus diadili, tidak dilepas seperti yang dilakukan pihak Polri sebagaimana yang dimuat oleh beberapa media terkait perkembangan kasus ini. 

"Kepada Prediden dan Kapolri agar mendengar  dan mematuhi pendapat MUI bahwa bendera yang dibakar oleh oknum Banser Ansor itu bukan bendera HTI tapi bendera bertuliskan kalimat tauhid dan pelakunya jelas-jelas telah melakukan penistaan terhadap agama Islam dan melukai hati ummat muslim di dunia ini," sorotnya.

Asikin mengatakan, pihak kepolisian harusnya memberi sanksi yang setegas-tegasnya kepada oknum pelaku tanpa melihat asal golongan dan bersikap pandang bulu dalam kasus ini. Baginya, tindakan oknum tersebut tidak bisa diterima oleh akal sehat mayoritas kaum muslimin yang ada di dunia ini. Dan dalam penanganan kasus ini, sambung dia, diharapkan aparat penegak hukum bersikap adil dan tegas,  

"Pelaku pembakaran jangan dilepas. Oknum Banser itu sudah membuat kegaduhan dan menodai mahkota agamanya sendiri dan melukai jutaan Muslim di dunia ini," terang dia. 

Selain itu, sesuai pernyataan sikap yang dibuat FUI Bima. Tak hanya pelaku pembakaran yang diminta untuk diproses secara hukum yang adil dan tanpa pandang bulu. FUI Bima pun meminta agar organisasi Banser milik Ansor dan NU itu dibubarkan karena berulang kali membuat kegaduhan di negara ini. (RED | WWW.TEMPO.CO)

Related

Politik dan Hukum 3578462436525717177

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.

emo-but-icon

 


SPONSOR

join

FANSPAGE METROMINI

METROMINI VIDEO

Iklan

 


Arsip Blog

Ikuti Tweet Metromini

item