"Hanta Ua Pua" dan Tanggung Jawab Membangun Bima

Uma Lengge yang du atasnya para penghuni melayu ditandu oleh warga hingga halaman Asi Mboko. GOOGLE/www.mbojoklopedia.com
Oleh: Syech Fathurrahman

اِتَّبعُوْا مَنْ لاَ يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَ هُمْ مُهْتَدُوْنَ .

"Ikutilah orang yang tiada minta imbalan (pamrih) kepadamu, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk".

OPINI - Tahun 2003 silam, untuk pertama kalinya Bima menggelar kembali upacara adat Hanta U’a Pua, setelah selama puluhan tahun ritual adat yang islami dan sakral tersebut seperti tenggelam ditelan babak baru kehidupan berbangsa bernegara.

U’a Pua atau “Sirih Puan”, dalam bahasa Melayu, merupakan satu rumpun “Tangkai Bunga Telur” warna-warni berjumlah 99 tangkai, sebanyak bilangan Asma’ul Husna (99 sifat mulia Allah SWT) dan ditengahnya ada sebuah Al-Qur’an. U’a Pua tersebut diletakkan dalam Uma Lige (Rumah Mahligai) yang diusung oleh 44 orang pria yang menandakan keberadaan 44 Dari Mbojo yakni kelompok asli Dou Dana Mbojo yang terbagi menurut 44 jenis keahlian. Uma Lige diusung dari rumah Penghulu Melayu ke Istana untuk diterima Sultan Bima dengan sebuah amanah suci yang harus dikerjakan bersama, yakni memegang teguh ajaran Agama Islam.

Hikmah apa gerangan yang dapat kita petik dari penyelenggaraan upacara adat Hanta U’a Pua di aman moderen ini? Apalagi Bima sejak 63 tahun lalu sudah tidak lagi berbentuk kesultanan dan istana Bima sudah tidak lagi memiliki kekuasaan selain menjadi “Cagar Budaya” berfungsi sebagai obyek wisata dan ilmu pengetahuan. Apakah Hanta U’a Pua hanya menjadi asset pariwisata dan semata hiburan lokal di setiap peringatan Maulid Nabi SAW? 

Jika ada hikmah yang dapat kita petik sebagai penyejuk dahaga rohani akibat keringnya kehidupan moderen yang kita jalani, maka khutbah Jum’at berikut ini mencoba menguraikan hikmah yang sekiranya dapat menjembatani kesenjangan yang ada antara simbol-simbol religius dan falsafah hidup di balik upacara adat warisan budaya leluhur tersebut dengan kehidupan moderen kita generasi sesudahnya yang dipenuhi simbol-simbol materialisme. 

Tidak dipungkiri bahwa warna-warni kehidupan moderen yang dipenuhi dengan simbol-simbol materialisme seringkali menjerumuskan kita pada gaya hidup hedonisme atau ‘karakar ne’e’. Sikap egois, individualis, hedonis, ‘karakar ne’e’ dan berbagai sikap yang bertentangan dengan agama (Islam) adalah konsekuensi logis dari Modernisasi. 

Para ilmuwan Barat sendiri mengakui bahwa Modernisasi identik dengan Westernisasi, sekulerisasi, demokratisasi, dan pada akhirnya liberalisasi. Pada hakikatnya, modernisasi tidak bisa lepas dari asal mula istilah itu muncul, yakni Barat (West). Modernisasi hanya menekankan pada 3 hal, yakni: kemajuan, ilmiah, dan rasional, sehingga tidak memberi tempat terhadap agama dalam konteks Barat. Menurut mereka lagi, bahwa unsur terpenting/paling utama dari modernisasi adalah industrialisasi, yang selalu dirasa sebagai model kapitalis. Kapitalisme, pada gilirannya melahirkan sikap individualis. 

Kalau sebelumnya sebagaimana diilustrasikan pada acara ritual adat Hanta U’a Pua yang diselenggarakan pada setiap peringatan Maulid Nabi saw. dimana Penghulu Melayu menyerahkan al-Qur’an kepada Sultan Bima sebagai “amanah” yang harus diembannya dalam melaksanakan roda pemerintahan, gotong-royong, bahu-membahu bersama seluruh Dou Mbojo yang disimbolisasikan dengan 44 orang pengusung Uma Lige membangun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa sesuai ‘amanah’ al-Qur’an. 

Namun setelah tidak lagi menjadi kerajaan Islam dan seiring dengan pasang surut politik nasional, menyusul kebijakan “militerisasi” Orde Baru, Bima selanjutnya hingga 5 dasawarsa dipimpin oleh militer dan umumnya berasal dari luar daerah. Pada selama rentang waktu itu pula setiap Kepala Daerah Bima secara formal merasa tidak berkewajiban untuk mengemban “amanah al-Qur’an” selain menjaga “amanah Cendana” dan umat Islam di Dana Mbojo pun terpecah-belah. 

Hingga di era reformasi seperti saat ini pun meski masing-masing kelompok, golongan berbicara al-Qur’an, membangun Bima yang religius, dst. namun kita belum dewasa menyikapi setiap perbedaan akibat egoisme politik, kepentingan golongan dan aliran.

Kehidupan kita umat Islam di Bima dewasa ini pun masih tetap dipenuhi beragam penyakit sosial: yang muda tidak berprestasi, tenggelam dalam dekadensi moral, aborsi, miras dan narkoba, sensitif mudah berkelahi, dan seterusnya; sedang yang tua mencatat rekor dalam korupsi dan kecanduan judi. Sampai-sampai pemilihan Kepala Desa/Daerah pun jadi ajang perjudian? Jika Al-Qur’an sudah tidak menjadi pedoman hidup lagi, dan masjid-masjid pun kian sepi. 

Maka yang patut kemudian kita pertanyakan adalah: Inikah catatan kelam sejarah yang akan kita suguhkan untuk dibaca oleh anak-cucu dan generasi mendatang? Padahal Allah SWT sama sekali tidak menciptakan kita manusia dengan membawa “cek kosong”, melainkan setiap diri kita mengemban misi sebagai ‘khalifah fil-ardli’, sebagaimana firman-Nya:

وَ إذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ في الأَرْضِ خَلِيْفَةً

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para Malaikat bahwa Aku berkenan menciptakan Khalifah di muka bumi...”. (QS. Al-Baqarah: 30)

Keberhasilan kita sebagai khalifah fil-ardl tentu tergantung seberapa teguh kita menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Untuk dapat membumikan segala prinsip nilai dan norma yang terkandung di dalamnya, tentulah dibutuhkan langkah-langkah mendasar dan konstruktif.

Ironis memang, Bima yang sebelumnya selama 3 abad sebagai kerajaan Islam dimana sendi-sendi kehidupan dilandaskan pada falsafah religius yang mengedepankan keseimbangan antara Iman, Ilmu dan Amal seperti Maja La’bo Dahu, Nggahi Rawi Pahu, Nggusu Ini, Nggusu Waru, Toho Mpara Ndai Sura Dou la’bo Dana, termasuk dalam Hanta Ua Pua, dan lain-lain. Namun nilai-nilai filosofis religius tersebut begitu mudah tercerabut dari akarnya dan seakan nyaris tanpa ada bekasnya. Kendati era reformasi telah berlangsung satu dekade dan semangat otonomi daerah memberikan kewenangan pemerintah daerah menggulirkan beragam Peraturan perundang-undangan yang bernuansa syari’ah Islam termasuk mengangkat kembali falsafah hidup leluhur sebagai motto dan program pembangunan daerah. 

Namun tampaknya apa yang diwarisi selama 32 tahun lebih dari rezim sebelum ini jauh lebih berurat-berakar ketimbang nilai-nilai religius yang pernah diwariskan oleh para leluhur kita selama ratusan tahun. Sehingga bisa dikatakan kondisi Bima kini tampak tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain yang secara historis tidak pernah sebelumnya berdiri kerajaan/kesultanan Islam.

Kini kita selalu berharap, Palu kebijakan yang diketukkan, hendaknya selalu nyaring berbunyi “rahmatan lil-‘alamin”, sebagai rahmat bagi rakyat Bima keseluruhan. Itu hanya nyaring terdengar apabila palu diketukkan di atas meja. Tapi selama palu masih diketukkan di bawah meja, atau selama masih bekerja dengan berorientasi jangka pendek, yakni uang dan uang, sampai ratusan tahun yang akan datang, sampai habis seluruh sumber daya alam negeri ini kering-kerontang pun tidak akan pernah mampu negara ini menghantarkan rakyatnya pada kesejahteraan dan kemakmuran. Khalifah Umar bin Abdul Azis hanya butuh waktu 6 tahun saja untuk menghantarkan umatnya pada kejayaan, kesejahteraan dan kemakmuran, meski negerinya sampai jauh mata memandang hanya padang pasir yang terbentang. 

Khalifah Umar bin Abdul Azis yang hidup pada 1342 tahun yang lalu mampu membangun pemerintahan yang “Profesional dan Ikhlas”. Nilai-nilai keikhlasan semacam itu mungkin kini hanya kita dapati di dalam masjid pada saat kita memasukkan uang seribu rupiah ke dalam kotak amal. Subhanallah, seandainya saja keikhlasan itu tidak hanya kita temukan di dalam masjid, melainkan di semua lini birokrasi dan kemasyarakatan, tentulah tidak akan terjadi ekonomi biaya tinggi yang selama ini telah menjerumuskan bangsa ke dalam krisis multi-dimensi yang berkepanjangan di negeri ini. Firman Allah SWT dalam Surah Yasin, ayat 21:

اِتَّبعُوْا مَنْ لاَ يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَ هُمْ مُهْتَدُوْنَ .

"Ikutilah orang yang tiada minta imbalan (pamrih) kepadamu,dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk".

Begitupun Nabi Muhammad saw yang mampu membangun Masyarakat Madinah, yang oleh Prof. Montgomerry Watt disebut sebagai masyarakat dengan tatanan sosial-politik yang sangat-sangat moderen bahkan terlalu moderen di zamannya. Kalaupun saat ini kita telah hidup di zaman moderen namun tidak kunjung mampu merekonstruksi Masyarakat Madinah ke dalam konsepsi “Masyarakat Bima yang Madani”, karena masih terjebak dengan orientasi jangka pendek yang materialistik, maka selamanya sejarah Nabi Muhammad saw hanya akan tinggal sejarah. 

Begitu pun sejarah kerajaan Islam Bima pun yang diilustrasikan dalam Hanta Ua Pua akan tinggal sebagai hiburan nostalgia belaka. Dan al-Qur’an hanya akan tinggal menjadi teks-teks firman Tuhan yang tersimpan rapih di rak-rak buku dalam ruangan seakan menjadi “Mu’jizat tanpa Kekuatan” untuk merubah wajah peradaban moderen ini. Misi Islam ‘rahmatan lil-‘alamin’, sebagai rahmat bagi seisi alam pun hanya akan tinggal menjadi slogan tanpa makna. Na'udzubillah min dzalika

Semoga dengan menghayati kembali makna tradisi religius UA PUA yang tujuannya demi memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw sekaligus mengenang kembali sejarah masuknya Islam di Bima, hendaknya segala kerja-kerja kemanusiaan yang kita lakukan tidak terputus benang merahnya dengan misi nubuwah Nabi Muhammad saw dan perjuangan para Sultan, Ulama dan Syuhada di Dana Mbojo terdahulu. Aamiin yaa robbal 'alamin. ***

Related

Opini 8354593278651165877

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.

emo-but-icon

SPONSOR

join

FANSPAGE METROMINI

METROMINI VIDEO

Arsip Blog

Ikuti Tweet Metromini

item