Harapan Demokrasi yang Diagungkan Terhadap Pilkada Serentak 2020

"Antara permasalahan dan Solusi"
M. Isra, Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang. METEROmini/Dok
Oleh: M. Isra

OPINI -  Pada tahun ini, perhelatan demokrasi yang datang 5 tahun sekali pada tingkat lokal  akan kembali mengadakan kontestasi demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar pada tanggal 23 september 2020. Kontestasi pilitik demokrasi ini, akan digelar di 270 daerah yang terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Jauh kebelakang melihat kembali pilkada sebelumnya, yaitu pada tahun 2018 sebanyak 171 daerah, tahun 2017 sebanyak 101 daerah dan tahun 2015 sebanyak 269 daerah, menandakan bahwa penyelenggaraan kontestasi demokrasi di tahun 2020 ini lebih banyak dibanding dengan tahun sebelumnya.

Dalam momentum Pilkada serentak tahun ini, namun ada beberapa hal yang tidak terlewatkan terkait dengan penyelenggaraan kontestasi demokrasi di indonesia, yaitu tidak terlepas dari persoalan yang belum terselesaikan dari pemasalahan praktik demokrasi yang banyak kita jumpai sebelumnya.

Adapun yang pertama, praktik money politik. Permasalahan money politik atau yang biasa kita sebut politik uang seringkali terjadi pada Pemilu sehingga belum terselesaikan dan dihilangkan sampai saat ini. Berbagai cara jitu seperti ini sering dilakukan oleh para kandidat pasangan calon untuk membeli dan menyogok suara masyarakat, bahkan ke penyelenggara pemilu. Alunan mesra transaksi antara kandidat calon lewat tim suksesnya kepada para pemilih menimbulkan kandungan budaya politik transaksional. Sehingga Praktik politik uang ini adalah virus dan wabah yang telah menjadi budaya dalam demokrasi kita.

Kedua, Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan petugas keamanan (Polisi, TNI). Dalam undang-undang no 5 tahun 2014 tentang ASN juga menjelaskan bahwa ASN itu berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Dengan melihat realita yang terjadi, dari data Kedeputian Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Bidang Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian (Wasdalpeg) menetapkan sebanyak 991 Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terlibat dalam pelanggaran netralitas selama perhelatan Pilkada serentak 2018 hingga Pemilu presiden 2019.
Melihat kondisi tersebut, ini menandakan bahwa banyak Aparatur Sipil Negara yang tidak netral. 

Aparatur negara yang seharusnya bebas dari intervensi politik, banyak yang telah terjun langsung dan tergoda dengan manisnya berpolitik, sehingga adanya keberpihakan ASN dalam politik kerap kali terjadi dalam Pilkada. Untuk itu, pada penyelenggaraan pilkada serentak tahun ini pemerintaah harus benar-benar bersikap tegas terhadap ASN yang tidak netral.

Ketiga, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPU. seperti informasi baru-baru ini dari banyak media massa, yakni adanya kasus suap yang dilakukan oleh caleg dari partai banteng  (Harun Masiku) terhadap komisioner KPK RI (Wahyu setiawan) yang berhasil dilakukan oleh KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT). Dari kasus tersebut, menandakan bahwa hal ini akan berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilu ini menurun dan berkurang. Oleh karena itu, KPU sebagai lembaga independen harus memperbaiki dan mempertahankan nama baiknya, agar tidak menimbulkan ketidakpercayaan terhadap masyarakat sehingga menyebabkan banyak yang golput dan tidak percaya terhadap pelaksanaan pemilu.

Keempat, politik kekeluargaan. Fenomena praktek politik kekeluargaan  di era modern ini masih kental dan perlu untuk diperhatikan. Para elit politik dengan melibatkan anak atau keluarganya masuk ke dalam partai politik. Partai politik hanya dijadikan sebagai mesin politik yang semata untuk mencapai target yang tidak lain adalah modus Kekuasaan semata. Kemudian partai politik juga dalam hal rekruitment anggota partai, kebanyakan didasari pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kekuasaan. 

Sehingga banyak dari kalangan selebritis, pengusaha, dan anak keturunan “darah biru” masuk ke partai politik tanpa melalui proses kaderisasi. akibatnya, banyak dari kalangan penguasa yang tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik sehingga memungkinkan terjdinya penyimpangan kekuasaan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Dengan adanya pratik politik seperti ini, nantinya akan berpengaruh dan membawa dampak terhadap kehidupan masyarakat. Dan di sisi lain, akan menjadikan negara kita sulit untuk mewujudkan cita-cita demokrasi yang selama ini agungkan dan cita-cita kenegaraan tidak terealisasikan, karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih.  Oleh karena itu, yang sangat perlu untuk diperhatikan oleh masyarakat adalah dengan cermat melihat bagaimana kualitas kepemimpinan para kandidat dalam melaksanakan tugasnya.

Terakhir, berita bohong atau hoaks yang selalu mewarnai pilkada. Tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan media massa dalam hal meyebarkan berita bohong atau hoaks selalu mejadi masalah serius yang mewarnai pilkada di negeri ini. Banyaknya berita hoaks di media massa, tentu tidak lain adalah cara licik dari tangan kotor pihak yang bertujuan untuk menghasut, memfitnah dan mengadu domba partai politik, sehingga menjatuhkan lawan politik lainnya. Dengan persoalan seperti ini, menjadikan cacatnya sifat demokrasi kita yang berasaskan “LUBERJURDIL” yang selama ini diagungkan. 

Untuk itu, langkah yang harus dilakukan adalah bagaimana pasangan calon untuk komitmen memerangi berita hoaks tersebut. Di sisi lain, masyarakat juga harus mampu untuk menangkal dan tidak langsung menerima mentah-mentah suatu inforrmasi yang tidak jelas sumbernya, tanpa memastikan kebenaran aslinya terlebih dahulu.

Melihat dari kelima persoalan tersebut, tentu harus ada upaya kolektif  antara pemerintah dan masyarakat untuk menuntaskan bagaimana persoalan tersebut teratasi. Pemerintah dengan kebijakan yang tegas mengatur dan menindak lanjuti persoalan ini dengan Cermat, sedangkan masyarakat harus benar-benar mampu bersikap Cerdas dalam memahami persoalan yang menyangkut kesejahteraannya di masa mendatang. Dengan demikian, pada penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2020 ini diharapkan tetap menjujung tinggi asas demokrasi “LUBERJURDIL”. Lahirnya para pemimpin daerah yang menjalankan tugas visi dan misinya dengan penuh amanah, pemimpin yang berjanji bukan hanya terucap di lisan, melainkan mampu wewujudkan dalam bentuk realitas. ***
_________
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang

Related

Opini 6366421828814843161

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.

emo-but-icon

SPONSOR

join

FANSPAGE METROMINI

METROMINI VIDEO

Arsip Blog

Ikuti Tweet Metromini

item