Hasil Pilkada Langsung di Kabupaten Bima Masih Mengecewakan Rakyat



Oleh: Dr. Ikhwan Sirajuddin

OPINI - Pilkada sudah berlangsung hampir dua dekade, demokrasi pemilihan langsung berjalan di negeri ini. Saat rakyat memilih seperti Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Bima yang disokong oleh sejumlah Partai Politik. Pertanyaannya, 
Apakah selama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung memiliki dampak luas pada perekonomian daerah?

Proses Pilkada sejak tahun 2005 sd 2020 berarti masuk dua dekade atau berjalan sudah 15 tahun rakyat mengikuti pesta demokrasi atau Pilkada langsung. Artinya, demokrasi ditentukan oleh hasil pilihan Rakyat. 

Di tahun 2005 lalu, hasil Pilkada di Kabupaten Bima terpilih almarhum Fery Zulkarnain terpilih menjadi Bupati Bima periode 2005-2010 dan kembali menang di Pilkada selanjutnya, namun pada paru kedua beliau menjabat, beliau meninggal dunia. Selama beliau menjadi Bupati Bima dalam kisaran 8 tahun kepemimpinannya, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bima sebesar  5,63%. Sementara penurunan angka kemiskinan sebesar dari 20,42% di tahun 2010 menjadi 18,33% di tahun 2011.

 Pada akhir jabatan Fery Zulkarnain di tahun 2015 angka kemiskinan menjadi 14,09% yang kemudian naik 0,02 %  di bulan Maret 2016 menjadi 14,11%. Sedangkan Indeks kedalaman kemiskinan daerah perdesaan pada Maret 2015 sebesar 2,55%. 

Saat kepemimpinan almarhum Feri, APBD  Kabupaten Bima di tahun 2013 sebesar Rp1,011 triliun. Dan belanja daerah,  mencapai Rp951,4 miliar. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah hanya Rp66.44 miliar.

Setelah wafatnya Almarhum Fery, kepemimpinan dilanjutkan oleh Wakil Bupati yang saat itu dijabat oleh Drs. H. Syafruddin, M.Pd. H. Syafru menggantikan Almarhum Feri sampai dengan dilakukan Pilkada lansung yang diselenggarakan secara serentak di 2015. Saat itu, H. Syafru kalah dan suara terbanyak dimenangkan oleh Hj. Indah Dhamayanti Putri yang berpasangan dengan Drs. H. Dahlan atau pasangan IDP-Dahlan. 

Di Pilkada 2015 lalu, total perolehan suara IDP-Dahlan 40.51%, sementara H. Syafruddin-Maskur hanya memperoleh suara  28.40%.

Setelah menjadi Pemimpin di Kabupaten Bima, IDP yang juga istri dari mendiang almarhum Feri Zulkarnain, bagaimana capaian kinerjanya saat ini?

Di tahun 2016 lalu, pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 5.30% dan tahun 2018 menurun sebesar 4.06%. Sementara di akhir 2019 sebesar 4.29%. Jadi rata-rata dalam kurun waktu 2016-2019 pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bima berkisar 4-5%.  Ekonomi tumbuh di atas 3 digit berimplikasi pada penurunan  angka pengangguran di mana 2016 sebesar 3.98%, 2017 menurun 3.75%, 2018 menjadi 3,50% dan 2019 sebesar 2,87%.

Sementara, dari sisi Pendapatan Asli Daerah ( PAD) di tahun 2017  sebesar Rp199.888 miliar. Di tahun 2018 sebesar Rp136.270 miliar atau turun Rp63.563 miliar. Sedangkan tahun 2019, PAD hanya mencapai Rp135.874 miliar atau turun Rp39.6 miliar dari total APBD sebesar Rp1.812 triliun. 

Berdasarkan komparasi data di atas capaian pertumbuhan ekonomi pada saat Bupati almarhum Fery rata- rata 5%. Sedangkan Pada saat IDP menjabat hanya Kisaran 4% dan hanya terpaut 1 digit atau 1% dengan almarhum suaminya. 

Demikian juga capaian Pendapatan Asli Daerah pada saat Fery menjabat PAD di akhir tahun 2013 sebesar Rp66.44 miliar dan akhir tahun 2014 sebesar Rp100,89 miliyar dan 2015 turun lagi menjadi Rp94.52 miliar atau turun 8%. Pada awal kepemimpinan IDP tahun 2016 capain PAD sebesar Rp108,3 miliar naik 13% dan di akhir jabatan IDP tahun 2019 PAD mencapai Rp135.874 miliar. Artinya, tidak ada peningkatan signifikan PAD selama kepemimpinan almarhum Fery dan masa kepemimpinan IDP. PAD anjlok dan dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi rendah. 

Kalau dihitung besarnya PAD 2019 sebesar Rp135.874 miliar dibagi dengan jumlah penduduk 473.890 jiwa. Jadi rata-rata PAD ini kalau dibagi kemasyarakat hanya sekitar Rp28.000 per kapita. Ini belum dihitung pendapatan per kapita masyarakat. Mungkin sangat kecil.

Jadi kesimpulannya, selama Pilkada langsung terjadi dalam kurun waktu 15 tahun ini, tidak memberikan Dampak signifikan  dan kemanfaatan berarti kepada masyarakat. Apalagi untuk kemndirian daerah masih jauh. Pilkada hanya menghabiskan anggaran Daerah sebesar Rp24.6 miliar untuk tahun 2020 ini sangat mahal ongkos politiknya. Belum lagi ongkos politik masing-masing calon yang diperkirakan sekitar Rp15 hingga 20 miliar.

Pilkada Langsung di Bima bisa dibilang "High Cost, Low Impact". Karena kita memilih calon  yang tidak mampu mengelola potensi Daerah secara optimal. Hal ini, karena lemahnya kompetensi managerial dan management termasuk soal kepemimpinan. Pilkada yang kenyang hanya Partai Politik, kelompok oligarky dan Pemenang Pilkada. Hasil PAD yang rendah menunjukan Kapabilitas Kepala Daerah dalam mengelola ekonomi daerah sangat rendah selama 15 tahun terakhir di Kabupaten Bima.

Jadi Pilkada langsung bisa dibilang masih mengecewakan. Yang senang hanya avountirir politik, aktivis partisan, petinggi politik dan anggota DPRD yang menitip proyek serta broker demokrasi karena berseliweran cos politik dan anggaran yang ada di Pemerintah.

Lalu untuk rakyat apa? Hanya janji manis. Kalau orang Bima analogikan sama dengan "tau oiniwa tafiko". ****

Related

Opini 6235689118570055045

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.

emo-but-icon

 


SPONSOR

join

FANSPAGE METROMINI

METROMINI VIDEO

Iklan

 


Arsip Blog

Ikuti Tweet Metromini

item