NTB Darurat Illegal Logging


OPINI - Hutan Indonesia memang masih tetap luas. Setelah kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) akibat terbitnya UU Penataan Ruang Nomor 24 Tahun 1992, dan perkembangan pembangunan, luas hutan Indonesia yang awalnya sekitar 144,3 juta hektare (Tata Guna Hutan Kesepakatan, 1984) menyusut menjadi 120,35 juta hektare. Luas kawasan hutan kini sebesar 64,11% dari luas daratan Indonesia yang 187,7 juta hektare.

Luasnya lahan hutan yang lebih dari separuh luas daratan negara diperlukan masyarakat untuk berbagai kegiatan. Antara lain untuk sumber pangan, sumber penghidupan, kesehatan/medis, bahan bangunan, industri, pendidikan, rekreasi, beribadah, budaya, perlindungan alami, mengendalikan pemanasan global, sampai pertahanan negara. Sangat sulit memilah sendi-sendi kehidupan yang tidak berkaitan dengan hutan dan sumber daya hutan beserta ekosistemnya. Salah satu yang terpenting adalah kebutuhan oksigen dan udara bersih, serta media regenerasi biota. Harus dilakukan kolaborasi, networking at equal level and involving parties (Untung Iskandar, 2020).

Sebagai catatan singkat, NTB sebagai salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki luas kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas tercatat ± 1.070.000 ha atau mencapai 53% dari luas wilayah daratan NTB (Hakim, 2013). Namun, seiring berjalannya waktu, luas kawasan hutan kini mulai masuk dalam status kritis. Berdasarkan dokumen laporan lahan kritis di NTB pada tahun 2018, setidaknya terdapat 59.602 lahan kritis dan 6.173 lahan sangat kritis. Dimana kedua kategori lahan kritis dan sangat kritis terakumulasi dari luar kawasan, hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi.

Faktor Yang Mempengaruhi Tejadinya Kegiatan Illegal logging :

1. Tingkat Pendidikan
Dari beberapa kasus yang di temui para pelaku illegal loging tidak tamat sekolah, Tamat SD dan beberapa lainnya SMA/Sederajat. Rendahnya pendidikan mengakibatkan rendahnya kemampuan para pelaku ilegal loging untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Hal ini sesuai dengan penelitian Deni Susilawati (2008), para perambah hutan pada umumnya berpendidikan rendah, sehingga menyebabkan rendahnya penyerapan informasi yang didengar atau dilihatnya, tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan teknologi budidaya pertanian yang mereka lakukan masih klasik, diturunkan dari orang tua mereka.

2. Kebutuhan Ekonomi.
Para pelaku ilegal loging awalnya mempunyai pekerjaan yang bervariasi.
Pendapatan mereka sebelum melakukan kegiatan ilegal loging sangat rendah dibandingkan saat mereka melakukan kegiatan ilegal loging. 

Faktor pendapatan adalah faktor paling utama penyebab tejadinya kegiatan ilegal loging karena mudah dilakukan dan tidak memmakan biaya banyak.

3. Keterbatasan Petugas Pengawasan Hutan.
Keterbatasan jumlah petugas pengawasan hutan dengan luas wilayah yang sangat luas serta tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, seperti sarana telekomunikasi dan transportasi menyebabkan maraknya terjadi pencurian kayu (Illegal Logging).

4. Pelaksanaan Sanksi Hukum
Pelaksanaan sanksi hukum kurang tegas terhadap para pelaku dan pencuri kayu karena petugas acap kali hanya memberikan pembinaan dikarenakan para pelaku adalah masyarakat setempat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, hal ini juga yang membuat masyarakat tidak takut untuk melalukan pencurian kau di dalam kawasan hutan. 

Aksi perusakan hutan pembalakan liar kayu di hutan secara liar atau illegal logging, masih marak terjadi. Berbagai macam modus digunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab denganini menyelundupkan kayu-kayu keluar wilayah NTB. Berbagai modus digunakan oleh pelaku illegal loging seperti; pengangkutan kayu menggunakan container/mobil box, menutupi kayu dengan hasil bumi dan barang-barang lain  (Sekam gabah, dedak, barang rongsokan, tabung gas elpiji dll.), menggunakan surat perjalanan/ijin yang dipalsukan/tanpa surat atau surat tidak sah, hingga menggunakan istilah kayu bonsai. Tindakan illegal logging atau pembalakan liar kayu tanpa ijin, pembakaran hutan untuk perladangan liar, perambahan hutan menyebabkan ekosistem kawasan hutan di wilayah NTB sangat meresahkan dan berada pada taraf Darurat Illegal Logging. 

Menghadapi situasi dan kondisi tersebut Pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat, telah  mengambil tindakan untuk menertibkan peredaran hasil hutan kayu, memutus matarantai peredaran kayu illegal antar pulau sehingga dapat memberi jeda untuk memulihkan kembali kondisi ekosistem hutan di NTB dengan mengeluarkan Pada tanggal 18 Desember 2020 Gubernur NTB mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor : 188.4.5-75/KUM Tahun 2020 tentang Moratorium Penebangan dan Peredaran Hasil Hutan Kayu di Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Sejak diterbitkannya instruksi gubernur tersebut, beberapa kendala permasalahan yang dihadapi dalam menerapkan moratorium dari hasil evaluasi sebagai berikut :Koordinasi dengan pihak-pihak terkait masih belum maksimal dan efektif sehingga masih terdapat truk pengangkut kayu yang menyebrang keluar pulau Lombok.

1. Keterbatasan SDM, anggaran serta sarana prasarana pengamanan hutan di pos penjagaan kawasan hutan dan pos pemeriksaan hasil hutan.

2. Modus pengangkutan kayu yang makin beragam hingga sulit terdeteksi dan mengelabui petugas.

3. Salah satu dampak dari pandemic Covid-19 adalah kebutuhan ekonomi masyarakat semakin sulit, sehingga masyarakat memaksakan pemanfaatan hasil hutan kayu.

4. Terdapat oknum pengusaha yang belum mematuhi instruksi Gubernur.

5. Tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran Instruksi Gubernur.

6. Terhentinya pelayanan KPH terkait pemanfaatan Hasil Hutan kayu di Luar Kawasan Hutan.

7. Adanya desakan dari para pihak agar dilakukan revisi Instruksi Gubernur tersebut.
Data yang tercatat dari bulan Januari  s.d Juni 2021, Hasil Pemantauan dari penjagaan pada Pos Pos Pemeriksaan hasil Hutan (PHH) sejumlah 9.265 unit kendaraan yang diperiksa dan dicurigai mengangkut hasil hutan kayu. Dari jumlah tersebut terdapat 106 melakukan pelanggaran yang terdiri dari 98 unit dilakukan pembinaan dan 8 unit dilakukan proses penegakan hukum.

Solusi Untuk Mengurangi/mencegah Terjadinya Illegal Loging.

1. Sosialialisasi dan pembinaan terkait peraturan perundang-undangan.
Salah satu penyebab terjadinya illegal loging adalah karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sehingga perlu adanya ssialisasi terkait peraturan perundang-undangan agar masyarakat mengetahui apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di dalam kawasan hutan serta hukuman yang akan diterima jika melakukan pelanggaran.

2. Mengangkat tenaga pengamanan hutan partisipatif.
Illegal logging tidak luput dari  kurangnya pengawasan petugas lapangan sehingga perlu melakukan kolaborasi pengawasan dengan mengangkat tenaga pengamanan hutan partisipatif yang bertujuan untuk memberi informasi penting terkait tindak pidana illegal  logging di dalam kawasanhutan dan mempercepat proses penindakan oleh petugas pengaman hutan.

3. Membangun kemitraan dengan masyarakat sekitar kawasan hutan.
Pada dasarnya interfensi masyarakat sekitar kawasan hutan tidak bisa terlepas begitu saja, sehingga perlu adanya kerjasama dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan dan hal ini dapat menekan interfensi masyarakat yang lebih luas selain mengurangi/mencegah illegal logging juga dapat mengurangi perambahan.

4. Melaksanakan patroli gabungan TIM SATGAS (KPH, TNI dan POLRI)
Saat melaksanakan patrol dan pengaman di dalam kawasan acap kali petugas mendapat perlawanan dari masyarakat sehingga jika dilakukan patrol gabungan maka masyarakat secara otomatis takut untuk naik kedalam kawasan hutan serta jika terdapat tindak pidana illegal loging maka dapat langsung di eksekusi dan diamankan.

5. Membuat Surat Edaran Gubernur terkait pengelolaan hasil hutan kayu di luar kawasan hutan (hutan hak).
Peraturan ini berfungsi untuk mengantisipasi pengaburan hasil hutan kayu dari dalam kawasan hutan saat pengangkutan di karenakan petugas kesulitan untuk membedakan mana kayu yang berasal dari kawasan hutan Negara dan mana kayu yang berasal dari hutan hak karena jenis, warna dan ukuran  yang sama.
Dengan adanya peraturan ini petugas dapat memantau dan mengontrol potensi hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak baik dari segi jumlah volume dan jenisnya.

6. Pembangunan Pos-Pos Pemeriksaan Peredaran Hasil Hutan.
Dengan adanya Pos Pemeriksaan PHH in maka diharapkan dapat menekan laju peradaran hasil hutan dan dapat mengontrol keluar masuknya kayu dengan meregister setiap kendaraan yang mengangkut hasil hutan, jika potensi yang di angkut telah melebihi volumenya maka dapat di duga bahwa kayu tersebut berasal dari kawasan hutan dan dapat dilakukan tindakan penyidikan.

7. Pemberian sanksi hukum yang tegas.
Dengan memberikan sanksi hukum yang tegas adalah langkah konkrit yang dapat memberikan efek jera terhadap masyarakat pelaku illegal logging dan sebagai contoh terhadap masyarakat yang lain agar tidak melakukan kegiatan tindak pidana kehutanan yang serupa. (RED)

Ditulis Oleh : 
Andang Makhdir, 
Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Manajemen Inovasi 
Universitas Tekhnologi Sumbawa.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.

emo-but-icon

FANSPAGE METROMINI

METROMINI VIDEO

Arsip Blog

Ikuti Tweet Metromini

item